Persamaan gender yang banyak
didengung-dengungkan oleh kaum barat, ternyata telah merasuk ke tubuh kaum
muslimah umat ini. Lantas bagaimana sebenarnya peranan wanita islam dalam
membangun keluarga atau masyarakat? Mari kita simak tulisan berikut, bagaimana
seharusnya wanita membangun sebuah keluarga bahkan Negara?
Peranan wanita dalam keluarga
Keluarga merupakan pondasi dasar
penyebaran islam. Dari keluarga lah, muncul pemimpin-pemimpin yang berjihad di
jalan Allah, dan akan datang bibit-bibit yang akan berjuang meninggikan
kalimat-kalimat Allah. Dan peran terbesar dalam hal tersebut adalah kaum
wanita.
Pertama: Wanita sebagai seorang
istri
Ketika seorang laki-laki merasa
kesulitan, maka sang istri lah yang bisa membantunya. Ketika seorang laki-laki
mengalami kegundahan, sang istri lah yang dapat menenangkannya. Dan ketika sang
laki-laki mengalami keterpurukan, sang istri lah yang dapat menyemangatinya.
Sungguh, tidak ada yang mempunyai
pengaruh terbesar bagi seorang suami melainkan sang istri yang dicintainya.
Mengenai hal ini, contohlah apa
yang dilakukan oleh teladan kaum Muslimah, Khadijah Radiyallahu anha dalam
mendampingi Rasulullah di masa awal kenabiannya. Ketika Rasulullah merasa
ketakutan terhadap wahyu yang diberikan kepadanya, dan merasa kesulitan, lantas
apa yang dikatakan Khadijah kepadanya?
“Demi Allah, Allah tidak akan
menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung
silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang
yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya
menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Tidak ada pangkat tertinggi
melainkan pangkat seorang Nabi, dan tidak ada ujian yang paling berat selain
ujian menjadi seorang Nabi. Untuk itu, tidak ada obat penenang bagi Rasulullah
dalam mengemban amanah nubuwahnya melainkan istri yang sangat dicintainya.
Sampai-sampai ketika Aisyah cemburu kepada Khadijah, dan berkata “Kenapa engkau
sering menyebut perempuan berpipi merah itu, padahal Allah telah
menggantikannya untukmu dengan yang lebih baik?” Lantas Rasulullah marah dan
bersabda: “Bagaimana engkau berkata demikian? Sungguh dia beriman
kepadaku pada saat orang-orang menolakku, dia membenarkanku ketika orang-orang
mendustakanku, dia mendermakan seluruh hartanya untukku pada saat semua orang
menolak mambantuku, dan Allah memberiku rizki darinya berupa keturunan.” (HR
Ahmad dengan Sanad yang Hasan)
Demikianlah kecintaan Rasulullah
kepada Khadijah, dan demikianlah seharusnya bagi seorang wanita muslimah di
dalam keluarganya. Tidak ada yang diinginkan bagi seorang suami melainkan
seorang istri yang dapat menerimanya apa adanya, percaya dan yakin kepadanya
dan selalu membantunya ketika sulitnya.
Inilah peran yang seharusnya dilakukan bagi seorang wanita.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang perlu dilakukan wanita, akan tetapi
menjadi pendamping seorang pemimpin (pemimpin rumah tangga atau lainnya) yang
dapat membantu, mengarahkan dan menenangkan adalah hal yang sangat mulia jika di
dalamnya berisi ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Kedua: Wanita sebagai seorang Ibu
Tidak ada kemulian terbesar yang
diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang Ibu.
Bahkan Rasulullah pun bersabda ketika ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang
yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.”
Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu.
“Ibumu”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu.
“Ibumu”, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.”
(HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Di dalam rumah, siapakah yang
mempunyai banyak waktu untuk anak-anak? Siapakah yang lebih mempunyai pengaruh
terhadap anak-anak? Siapakah yang lebih dekat kepada anak-anak? Tidak lain
adalah ibu-ibu mereka. Seorang ibu merupakan seseorang yang senantiasa
diharapkan kehadirannya bagi anak-anaknya. Seorang ibu dapat menjadikan
anak-anaknya menjadi orang yang baik sebagaimana seorang ibu bisa menjadikan
anaknya menjadi orang yang jahat. Baik buruknya seorang anak, dapat dipengaruhi
oleh baik atau tidaknya seorang ibu yang menjadi panutan anak-anaknya.
Pernahkah kita membaca
kisah-kisah kepahlawanan atau kemulian seseorang? Siapakah dalang di dalam
keberhasilan mereka menjadi seorang yang pemberani, ahli ilmu atau bahkan
seorang imam? Tidak lain adalah seorang ibu yang membimbingnya.
Mari kita simak perkataan seorang
shahabiyah, Khansa ketika melepaskan keempat anaknya ke medan jihad.
“Wahai anak-anakku, kalian telah
masuk islam dengan sukarela dan telah hijrah berdasarkan keinginan kalian. Demi
Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra dari
ayah yang sama dan dari ibu yang sama, nasab kalian tidak berbeda. Ketahuilah
bahwa seseungguhnya akhirat itu lebih baik dari dunia yang fana. Bersabarlah,
tabahlah dan teguhkanlah hati kalian serta bertaqwalah kepada Allah agar kalian
beruntung. Jika kalian menemui peperangan, maka masuklah ke dalam kancah
peperangan itu dan raihlah kemenangan dan kemuliaan di alam yang kekal dan
penuh kenikmatan”
Keesokan harinya, masuklah
keempat anak tersebut dalam medan pertempuran dengan hati yang masih ragu-ragu,
lalu salah seorang dari mereka mengingatkan saudara-saudaranya akan wasiat yang
disampaikan oleh ibu mereka. Mereka pun bertempur bagaikan singa dan menyerbu
bagaikan anak panah dengan gagah berani dan tidak pernah surut setapak pun
hingga mereka memperoleh syahadah fii sabilillah satu per satu. (Sirah
Shahabiyah hal 742, Pustaka As-Sunnah)
Inilah kekuatan seorang ibu yang
diberikan kepada anak-anaknya. Tatkala sang anak merasa ragu akan hal yang
ingin diperbuatnya, namun mereka teringat akan nasehat ibu mereka, maka semua
keraguan itu menjadi hilang, yang ada hanya semangat dan keyakinan akan harapan
seorang ibu.
Demikianlah peran mulia seorang
ibu, dan tidak ada peran yang lebih mendatangkan pahala yang banyak melainkan
peran mendidik anak-anaknya menjadi anak yang diridhoi Allah dan rasulnya.
Karena anak-anaknya lah sumber pahala dirinya dan sumber kebaikan untuknya.
Ketahuilah, banyak dikalangan
orang-orang besar, bahkan sebagian para imam dan ahli ilmu merupakan
orang-orang yatim, yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Dan lihatlah hasil
yang di dapatkannya. Mereka berkembang menjadi seorang ahli ilmu dan para imam
kaum muslimin. Sebut saja, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Bukhori dll adalah para
ulama yang dibesarkan hanya dari seorang ibu. Karena kasih sayang, pendidikan
yang baik dan doa dari seorang ibu merupakan kekuatan yang dapat menyemangati
anak-anak mereka dalam kebaikan.
Tahukah para pembaca dengan Imam
Shalat Masjidil Haram, Asy-Syaikh Sudais? Apa yang melatarbelakangi beliau
menjadi Imam shalat Masjidil Haram? Tidak lain adalah karena harapan dan doa
dari ibu beliau. Seorang ibu yang terus menerus memotivasi anaknya untuk
menjadi imam masjidil haram, telah membuat tekad Syaikh Sudais kecil menjadi
besar dan membuatnya bersemangat untuk menghafalkan quran dan selalu berusaha
agar keinginannya dan keinginan ibunya tercapai untuk menjadi Imam Masjidil
Haram.
Pernahkan para pembaca membaca
kisahnya seorang tabi’in Ar-Rabi’ah Ar-Ra’yi? Seorang ulama yang ditinggalkan
oleh ayahnya untuk berjihad selama 30 tahun dan hidup bersama ibunya. Dengan
bekal yang diberikan oleh sang ayah, namun dihabiskan hanya untuk pendidikan
anaknya oleh ibunya, menjadikan sang anak berkembang menjadi seorang ulama dan
pemuka Madinah, yang bahkan Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu
Hanifah, An-Nu’man, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Sufyan Tsauri, Abdurrahman bin
Amru Al-Auza’I, Laits bin Sa’id dan lainnya. Hal ini karena pengaruh dari
seorang ibu yang sholehah yang mendidik anaknya dengan sangat baik.
Ini adalah segelintir kisah-kisah
yang mengagumkan akan pengaruh yang amat besar dari seorang ibu, dan masih
banyak kisah-kisah lainnya jika kita mau mencari dan membacanya.
Karenanya, jika para wanita sadar
akan pentingnya dan sibuknya kehidupan di keluarga, niscaya mereka tidak akan
mempunyai waktu untuk mengurusi hal-hal di luar keluarganya. Apalagi
berangan-angan untuk menggantikan posisi laki-laki dalam mencari nafkah.
Peranan wanita dalam masyarakat
dan Negara
Wanita disamping perannya dalam
keluarga, ia juga bisa mempunyai peran lainnya di dalam masyarakat dan Negara.
Jika ia adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama, maka wajib baginya untuk
mendakwahkan apa yang ia ketahui kepada kaum wanita lainnya. Begitu pula jika
ia merupakan seorang yang ahli dalam bidang tertentu, maka ia bisa mempunyai
andil dalam urusan tersebut namun dengan batasan-batasan yang telah
disyariatkan dan tentunya setelah kewajibannya sebagai ibu rumah tangga telah
terpenuhi.
Banyak hal yang bisa dilakukan
kaum wanita dalam masyarakat dan Negara, dan ia punya perannya masing-masing
yang tentunya berbeda dengan kaum laki-laki. Hal ini sebagaimana yang dilakukan
para shahabiyah nabi.
Pada jaman nabi, para shahabiyah
biasa menjadi perawat ketika terjadi peperangan, atau sekedar menjadi
penyemangat kaum muslimin, walaupun tidak sedikit pula dari mereka yang juga
ikut berjuang berperang menggunakan senjata untuk mendapatkan syahadah fii
sabilillah, seperti Shahabiyah Ummu Imarah yang berjuang melindungi Rasulullah
dalam peperangan.
Sehingga dalam hal ini, peran
wanita adalah sebagai penopang dan sandaran kaum laki-laki dalam melaksanakan
tugas-tugasnya.
kesimpulan
Jika kita melihat akan
keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah untuk kaum wanita, maka jelaslah bahwa
wanita merupakan tumpuan dasar kemuliaan suatu masyarakat bahkan Negara.
Masyarakat atau Negara yang baik dapat terlihat dari baiknya perempuan di dalam
Negara tersebut dan begitupun sebaliknya.
Karenanya, peran wanita baik
dalam keluarga atau masyarakat merupakan peran yang sangat agung yang tidak
sepantasnya kaum wanita untuk menyepelekannya.
Ingatlah, Pemimpin-pemimpin yang
adil dan generasi-generasi yang baik akan muncul seiring dengan baiknya kaum
wanita pada waktu tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar